Minggu, 22 Juni 2008

Upacara Mattompang Arajang di Bone (2)

BISSU pada zaman dahulu adalah kelompok kaum yang sangat dihormati. Saking dihormatinya, maka pada masa pra Islam, mereka dipercaya untuk memimpin upacara-upacara yang bersifat religius. Sisa-sisa kharisma para Bissu tersebut, masih terlihat pada pelaksanaan prosesi "mattompang".
Prosesi "mattompang arajang" adalah upacara adat yang sakral dengan mensucikan benda-benda pusaka kerajaan Bone. Prosesi tersebut biasa juga disebut dengan "mappepaccing arajang" atau dikenal pula dengan istilah pangadereng "dilangiri".
Pada zaman dahulu, "mappepaccing arajang" atau "mattompang" dilaksanakan oleh para Bissu atas restu Raja Bone atau Mangkau di dalam ruangan tempat penyimpanan "arajang" tersebut. Para Bissu dianggap mengetahui serta mampu berhubungan dengan kegaiban yang menyertai arajang atau benda pusaka tersebut. Oleh karena itu, secara religius, hanya para Bissulah yang dianggap mampu dan kapabel untuk menggerakkan dan memindahkan arajang (benda pusaka) dari tempatnya semula.
Adapun tahapan pelaksanaan "mattompang" atau "mappepaccing arajang" antara lain, "Mappaota", dimana seorang pemangku adat mempersembahkan daun sirih yang diletakkan dalam cawan kepada Sang Raja atau Pemimpin Bone, sebagai tanda penghormatan sekaligus laporan bahwa upacara adat mattompang akan segera dimulai.
Selanjutnya, dengan diiringi beberapa Bissu, Puang Matowa (seorang Bissu yang dituakan), mempersembahkan sekapur sirih (ota) di depan "arajang" sebagai ungkapan penghormatan dan ijin kepada hal-hal gaib yang menyertai benda pusaka tersebut untuk dibersihkan. Selanjutnya Puang Matowa, mengeluarkan "arajang" dari tempatnya dengan diiringi seperangkat bunyi-bunyian yang terdiri dari gendang, gong, dan anak beccing. Sementara beberapa Bissu pengiring melakukan "sere alusu" (tarian), selama proses pemindahan "arajang" dari tempatnya ke nampang berlapis berlapis kain emas yang disiapkan.
Puang Matowa kemudian membawa benda-benda pusaka tersebut ke tempat penyucian dengan diiringi "genrang bali sumange". Dalam perjalanan ke tempat penyucian, para pembawa arajang dipayungi dengan "pajumpulaweng" (payung emas), dan menapakkan kaki pada kain putih yang dibentangkan dari tempat penyimpanan "arajang" hingga di tempat penyucian.
Sampai di "attompang" atau tempat pelaksanaan "mattompang", Puang Matowa kemudian menyerahkan beberapa "arajang" yang berupa keris tersebut kepada Raja atau Pemimpin Bone, untuk dikeluarkan dari sarungnya. Kemudian Puang Matowa membawa keris yang tak bersarung tersebut ke "panre" atau "pattompang" (orang yang melaksanakan penyucian) untuk disucikan.
Selama prosesi penyucian, "genrang bali sumange" kembali mengalun pelan yang mengiringi "sere alusu".
Dikutip dari : Harian Fajar


Tidak ada komentar: